Jumat, 21 Maret 2014

IF LOVE IS BETTER - LET ME FREE YOU (by. D. Amalia Kh,)


Rasa-rasanya, aku ingin lari dari semua kenyataan ini.
Setiap helaan nafas yang tertahan, gerak tubuh gelisah, dan desah yang menyiksa, semuanya!
Semua itu adalah bayangan hitam dengan ujung yang tajam,
Seolah bayangan hitam itu mengkungkungku. Menahanku di tempat dengan kasar.
Kalau saja, semua yang aku sayangi bisa aku pertahankan, aku akan jauh lebih baik.
Di saat tangan halus itu datang dan melindungiku, aku merasa lebih dari sekedar bahagia.
Aku ingin tetap seperti ini!
Kumohon, aku menginginkannya bersamaku!
Tetapi, semua telah berakhir Sehun-ssi...
Seandainya mencintai itu lebih baik,
Aku mencintaimu.
-Goo Jihyun-

Bila hanya hartamu yang harus kauberikan untuk satu-satunya orang yang kaucintai, tidakkah kauberikan?
Setiap reaksiku dari resiko yang akan aku dapat, setiap denyut mengerikan, setiap pengorbanan.
Barisan parimeter gelap yang selalu kutakuti semakin mendekat,
Tiap malam aku gelisah memikirkannya!
Aku membenci semua yang sudah kaulakukan dan yang kaukerjakan Jihyun-ah.
Tetapi, sungguh! Berhenti dan tinggallah denganku!
Seandainya mencintai itu lebih baik,
Aku mencintaimu.
-Oh Sehun-



[Jihyun’s POV]
            Tak ada apa-apa lagi! Tak ada apa-apa lagi! Hanya seorang! Ya hanya seorang! Aku meyakinkan diriku sekali lagi, selalu begitu di setiap malam selama hampir 2 tahun terakhir ini.
            Musik berdentam-dentam keras dari arah panggung di depan tirai yang menutupiku di belakang panggung. Berkali-kali aku melirik jam dinding yang menggantung di atas ambang pintu, 22.30. 10 menit lagi aku harus keluar ke panggung, selama dua tahun ini, aku selalu mengutuki tiap malam pada pukul sepuluh ke atas seperti ini. Aku benci dengan semua ini. Lalu tiba-tiba pintu kayu di sampingku menjeblak dengan sangat keras –aku sudah bisa tahu siapa yang membuka pintu itu, bosku. Pria berusia 40-an tahun itu menatapku dengan tajam dan sengit. “Apa-apakan kau ini ha?!” teriaknya kencang-kencang sambil mengguncang kedua bahuku yang tertutup baju lengan panjang. “Waeyo?” tanyaku takut kalau-kalau ia akan menamparku seperti malam-malam yang kerap terjadi padaku, “Dasar bocah tolol! Ganti pakaianmu!” rasanya, aku selalu ingin berontak dan menonjok orang ini setiap ia bicara kasar padaku. “Dengar tidak?!” raungnya keras-keras supaya aku mendengar jelas –karena suara musik sangat kencang di panggung. Aku mengangguk kaku sambil menunduk memandangi lantai. “Hyunjung!!” teriak bosku kearah pintu yang terbuka lebar. Seorang pria berbadan besar masuk sambil membawakan sebuah pakaian bukan baju, hanya 2 lembar kain abu-abu tipis yang transparan dengan panjang kira-kira masing-masing 1 meter saja. Aku mencelos melihat kain itu, “Buka bajumu!” teriak bosku. “M...mwo..mwoya?!” mataku melotot tak percaya pada perintah orang brengsek ini. “Cepat jalang!”
PLAK
Selalu begini setiap aku tak menuruti kemauannya. Dengan tak sabar bosku sendiri yang melucuti pakaianku yang sangat tertutup sekarang ini, aku tidak pernah suka harus seperti ini. “Aku...aku bisa sendiri Tuan,” ucapku mulai gusar saat dia memelukku dari depan untuk melepas braku. Bukannya melepaskanku, ia justru melumat ceruk leherku, “Uhh...andwae!! Lepas!! Lepaskan!!” ia menghentikan lumatannya di leherku, kemudian melepas braku, celana jeansku diturunkan dengan cepat, berikut dengan celana dalamku. Aku merasa malu harus seperti ini, pria bernama Hyunjung menyeringai menatap tubuh polosku yang aku coba tutupi dengan kedua tanganku. Bosku melambai pada Hyunjung –meminta dua kain tipis tersebut.  “Turunkan tanganmu sayang,” ucapnya di samping telingaku, sedetik dengan cepat aku membuat pertimbangan porsentase aku akan ditampar dengan betapa mudahnya aku  menurunkan kedua tanganku yang menyilang di depan dada telanjangku. Akhirnya aku menuruti kemauannya, dengan cepat dia melilitkan satu kain di dadaku, dan kain yang satunya lagi di pinggulku, menutupi hanya seperempat paha atasku saja. Intinya, kain transparan itu mengekspos tubuhku. Itu yang terjadi padaku selama dua tahun ini. Aku, seorang striptease.

[Author’s POV]
            Dua pria itu menatap sebuah tempat dengan plang nama dengan huruf abjad berwarna hot pink. Viaduct Dance.  “Kau akan terhibur di sini,” ucap seorang pria yang menggunakan jas berwarna merah tua. Seorang pria yang satunya, yang mengenakan mantel denim sepaha tampak tersenyum kecut melihat bar malam tersebut. ‘Hah, mungkin aku harus mabuk dulu kalau ketempat seperti ini’ dengus pria bermantel tersebut dalam hati. “Mau masuk kapan Sehun-ah?” tanya pria yang satunya, pria bernama Sehun itu menoleh menatap pria di sampingnya yang usianya terpaut 5 tahun lebih tua darinya. “Hm...hyung yang membawaku kesini, jadi terserah kau sajalah,” pria berjas merah tersebut menyeringai senang. Mereka berdua masuk ke dalam bar tersebut. Begitu sudah masuk ke lorong berpanel kayu coklat di bar malam tersebut, musik yang memekakan telinga langsung menyambut mereka. Pria yang dipanggil hyung oleh Sehun tersebut tersenyum lebar saat Sehun mengernyit melihat pemandangan di depannya. Beberapa penari dengan pakaian yang sangat minim tersebut meliuk-liuk di panggung, di depan pengunjung, ataupun menggoda di pole dance. “Ayo!” Sehun menurut saja saat salah satu teman kerjanya tersebut menggeret dia duduk di sebuah sofa kosong di sudut kanan bar tersebut. “Mau pesan minum?” tanya Jungshin –pria yang dipanggil hyung oleh Sehun-. Pria berkulit putih tersebut mengangguk pada Jungshin, “Wine? Vodka? Martini? Whisky? Brandy? Beer? Atau jus?” tanya Jungshin dengan nada yang aneh saat dia menanyakan jus. “Red Wine saja,” jawab Sehun sambil menyilangkan kakinya yang panjang, pria berjas tersebut mengangguk lantas meninggalkan Sehun menuju bartender di belakang sofa mereka.
             Sehun memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, seharian ini dia tidak bisa konsentrasi pada pekerjaan kantornya. Usianya masih sangat muda. 22 tahun, Sehun pria muda yang sukses dalam bidang perusahaan, memang baru 2 tahun Sehun mengurusi salah satu perusahaan ayahnya di Seoul, tapi dalam waktu 2 tahun ini pulalah pria bermarga Oh tersebut mampu mengembangkan perusahaan ayahnya tersebut. Berkat seluruh kerja keras dan potensi putranya yang luar biasa dalam pekerjaan, ayah Sehun tak khawatir akan kehidupan rumah tangga Sehun kelak. Akhirnya, ayah Sehun meminta Sehun untuk menikahi seorang gadis yang jujur saja tak ia kenal. Namanya Jung Jessica, ayahnya bilang dia putri kerabat dekat ayahnya. Sehun meminta waktu akan perihal pernikahannya, pasalnya ia sendiri juga belum siap untuk menikah, ditambah lagi dia tidak mencintai wanita bernama Jessica tersebut, kenal saja tidak. “Ini,” Sehun mendongak menerima uluran gelas red wine-nya. “Lepaskan penatmu disini bro, hidup hanya sekali, jangan terlalu dibuat susah. Oke?” Sehun tersenyum miris sambil menenggak segelas minuman kerasnya tersebut, Jungshin terkekeh bangga pada ‘temannya’ tersebut, kemudian ia menuangkan cairan merah keunguan pekat ke dalam gelas Sehun yang sudah kosong. ‘Jungshin benar, ha ha untuk apa memikirkan pernikahan dengan gadis yang tak kukenal. Aku bisa mencari calon istriku sendiri bukan? Menyebalkan.’ Gerutu Sehun sambil terus menenggak minumannya tersebut. ‘Tolol’ ucap Jungshin dalam hati, ia menyeringai menatap Sehun mulai mabuk dan lepas kendali. Sebenarnya, Jungshin tidak pernah menyukai Sehun, ia selalu menganggap Sehun adalah saingannya. Entah saingan dalam urusan pekerjaan, pacar, ataupun hal-hal sepele lainnya; seperti fashion misalnya. Jungshin sebenarnya pria yang mapan, dia wakil direktur di perusahaan Sehun, ia ditempatkan di posisi yang tinggi tersebut bukan hanya karena ia dan Sehun berteman lama, memang karena Jungshin berusaha sendiri, tapi tetap saja, pria berkaca tanpa bingkai tersebut tidak pernah mnyukai pria tampan di sampingnya tersebut yang sudah mabuk. Intinya, selamanya ini Jungshin ingin menghancurkan kehidupan Sehun.
            5 detik kemudian, musik yang awalnya berdentam-dentam keras memekakkan telinga tersebut mulai mereda seiring dengan redupnya lampu disko yang tadi berpendar-pendar meriah. Alunan musik yang lebih lembut kali ini mengalun, musik menjadi lebih berat an lebih sexy ketimbang yang tadi. Sehun menatap atas panggung dengan cukup jelas saat melihat gerakan meliuk yang sangat sensual. Jungshin menyeringai puas melihat artis bar malam ini tampil. Cahaya bar sekarang sangat temaram, lighting-nya menjadi warna hot pink sexy. “Hmm...dia yang terhebat,” bisik Jungshin mulai menggoda Sehun. Sehunpun meletakkan gelasnya di meja dan menajamkan penglihatan. Gadis itu terlihat seperti telanjang bulat, sebagai lelaki normal pasti Sehun tergoda. Jungshin memberi kode pada seseorang di sudut ruangan kemudian berbisik pelan pada Sehun. “Kau bisa menyewanya Sehun-ah, khusus untukmu, kau akan mendapat diskon malam ini,” Sehun meneguk liurnya saat melihat gadis dengan baju transparan tersebut bergerak semakin menggairahkan di atas panggung, mengikuti irama lagu yang sangat sexy. “Dia artis bar ini Sehun-ah,” desak Jungshin semakin semangat saat melihat keringat menuruni pelipis Sehun. “Kau...tertarik padanya? Cobalah! Kau tidak akan menyesal...” Sehun menatap orang yang sudah dianggapnya kakak tersebut, ia sedikit ragu, tapi saat melihat Jungshin tersenyum sambil menangguk yakin, ada sedikit rasa penasaran juga di benak Sehun yang awalnya ragu untuk melihat striptease dance macam begini. Artis bar tersebut berjalan sambil meliuk-liuk menggoda ke arah Sehun dan Jungshin setelah mellihat kode dari bosnya, rambutnya yang tergerai lembut sepunggung dan tampak acak-acakan membuat semua laki-laki di bar tersebut semakin blingsatan menahan nafsu, hanya saja, mereka tak mampu untuk menyewa artis bar tersebut walau hanya satu jam saja. Harganya yang paling mahal dari penari-penari telanjang di bar malam tersebut. Sehun semakin jelas melihat gadis tersebut, lekuk tubuhnya yang sempurna terekspos begitu saja karena pakaian transparannya. Getaran aneh terasa menjalar di tubuh Sehun saat memandangi wajah gadis cantik di depannya tersebut, dia terlihat lebih cocok menjadi wanita manis yang duduk di rumah ketimbang harus bergoyang menggoda setiap kaum adam di tempat seperti ini. Sehun terpesona, sempurna terpesona akan sosok gadis tersebut, seluruh sendi, otot, dan raga jiwanya seolah meenjerit meminta Sehun untuk membawanya pergi dari tempat iru, hanya saja pria itu sedang dalam taraf mabuk. Pikiran Sehun semakin kacau balau karena gadis itu terus merayunya tanpa ampun. Dadanya tampak menggoda mata Sehun yang sudah cukup mabuk, gadis itu membungkuk di depan Sehun dengan gerakan sensual membuat laki-laki yang melihatnya langsung berteriak-teriak tak tahan. Jari-jemarinya yang lentik mengusap dada Sehun yang berada di balik mantel denimnya, membuka kancing atas mantel tersebut lalu menarik dasi yang terpsang rapih di leher pria tersebut. Jakun Sehun bergerak-gerak melihat sesuatu yang sangat menggoda. Cuping hidungnya mengembang dan mengempis dengan cepat saat ia mencium bau yang sangat enak seperti bau lavender,lilac,madu,dan entah apa lagi. Otaknya tak mampu lagi untuk berpikir secara waras, kemudian tanpa babibu dan tedeng aling-aling, Sehun langsung mencium bibir penari tersebut, melumat bibir ranumnya serakus dan sekasar mungkin. Jungshin tersenyum lebar dan puas melihat Sehun sudah masuk perangkapnya. Tangan penari sexy tersebut mencengkram kuat-kuat bahu Sehun, ia seolah meminta dilepaskan dari ciuman tersebut, namun Sehun mengartikan lain cengkraman tersebut. Ia langsung berdiri dan mendekap tubuh penari tersebut. Gadis itu meronta, Sehun tak peduli. Sorakan laki-laki lain menggema semakin dahsyat saat tangan kiri Sehun meremas pantat gadis tersebut yang sedikit terlihat –karena saking tipisnya kain penutup yang ia kenakan. Jihyun –penari striptease tersebut meronta makin kencang dan mendorong-dorong bahu kokoh Sehun. Tidak! Jihyun tidak ingin yang seperti ini!

            Sehun membanting tubuh Jihyun ke atas ranjang king size di sebuah kamar di bar malam tersebut. Mulutnya mengulum bibir Jihyun tanpa ampun, walaupun Jihyun tak mau membuka mulutnya untuk dilumat habis-habisan oleh salah satu pria brengsek ini. Sehun mulai tak sabar, tubuhnya memanas. Tangannya menyentakkan kain yang menutupi dada gadis manis tersebut. “AAAAAAA!!!” Teriak Jihyun sekencang mungkin, walaupun tidak akan mungkin terdengar walaupun hanya di depan pintu kamar tersebut –kamar tersebut sudah dipasangi peredam suara. Sehun mengulum dadanya dan meremasnya dengan tidak sabaran, ia sudah berada dalam nafsunya. Jihyun mendorong tubuh Sehun untuk menjauh, ia mulai terisak. “Hentikannh!! Hiks...kumoh..hoonhh..nnhh..entikaannhh...hiks...ahh..” Sehun tak mengiharaukan ucapan gadis itu, ia menganggap ucapannya sebagai desahan yang semuanya menggoda diri Sehun yang tengah ‘dibakar’ hawa nafsu. Jihyun meronta tak karuan, ia tidak mau seperti ini! Ia memang seorang striptease dan ia pernah dibawa ke dalam kamar oleh pria-pria bejat lainnya, tapi mereka tidak akan pernah bisa sampai menjamah tubuhnya seperi Sehun sekarang, mereka akan jatuh tertidur hanya saat Jihyun berciuman dengannya. Itu karena, Jihyun selalu memberi mereka minuman yang sudah ia campuri dengan obat tidur, selanjutnya, Jihyun hanya akan meringkuk di samping tubuh pria tersebut sampai pagi dan pergi saat pria bejat itu bangun. Walaupun ia seorang pekerja nista, tapi dia masih suci, Jihyun masih perawan walaupun sudah 2 tahun dia bekerja seperti ini.

[Sehun’s POV]
            “Hentikan! Hentikan!! Kumohon! Hiks...sudahhh!!” gadis ini meraung-raung tak karuan minta dilepaskan saat aku menciuminya. Menyebalkan sekali dia ini. Ciumanku terus turun sampai perut datarnya yang sangat langsing, bibirku menyapu permukaan kulitnya yang sangat halus. “Cukuuphh!! Aahhh hentikkaannhh!! Hikss..”  tangannya menjambak-jambak rambut dengan sangat kencang seolah tak terima aku ‘sentuh’, aku kesal juga pada ulahnya. Dia seorang penari bar malam bukan? Kenapa harus menolak ditiduri?! Merasa jengkel pada dia akupun menyentakkan kedua tangannya yang di kepalaku dan tanpa pikir panjang aku menampar gadis itu begitu saja. Tangisnya tidak bertambah, ia hanya memegangi pipi kirinya yang memerah karena aku menamparnya. Aku bingung padanya. Tubuhnya bergetar seiring dengan senggukannya, gadis ini sangat cantik, benar-benar cantik. Ia membuang pandangannya ke samping dan menutup matanya, walaupun aku mabuk tapi aku masih sempat berpikir rasional, aku merasa kasihan padanya, akhirnya aku bangkit dari ats tubuhnya dan duduk di tepi ranjang memandangi mantel, jas, dan waistcoats  jasku yang tadi aku buang begitu saja kelantai. Aku menoleh menatap tubuh gadis di sampingku yang acak-acakan, perlahan akupun menghele nafas. Ia memiringkan tubuhnya dan mendekapnya dengan masih sesenggukkan, sebenarnya aku bingung padanya, kenapa dia harus menangis seperti ini? Diakan striptease profesional. Lama aku hanya menatap tubuhnya, sekitar 30 detik kemudian, gadis itu bergerak duduk sambil menunduk dan meraih kain tipis yang tadi aku sentakkan dari dadanya. Ada banyak bercak keunguan di leher, bahu dan dada gadis ini, aku jadi berpikir semua noda itu akan terlihat dengan jelas bahkan sampai 2 atau 3 hari lamanya. Tanganku terulur ingin membantunya mengenakan kain tipis pembungkus dada tersebut, tapi dengan cepat ia menepis tanganku. “Tidak usah!” ucapnya pelan namun ketus. Aku menatap pipinya yang memerah sebab aku tampar tadi, aku merasa bersalah padanya, seumur hidupku baru kali ini aku menampar seorang wanita. Kami diam selama rasanya hampir ada 1 menit yang terasa sangat lama, “Maaf,” bisikku. Gadis itu tidak mendongak untuk menatapku. Hatiku sedikit melengos karena dia mengacuhkanku. “Aku tidak bermaksud untuk menamparmu, sungguh” ia masih dia tertunduk kemudian menarik selimut satin tipis di bawah tubuhnya untuk menyelimuti tubuhnya. “Aku hanya bingung padamu,” ucapku cepat sambil tetap menatapnya, ia mendongak menatapku dengan muka sembab. “Apanya?” tanyanya sedikit sakartis. “Ha! Aku tahu, diotakmu itu kau pasti berpikiran bahwa aku wanita murahan yang sok suci. Iya kan?” mata bulatnya yang berwarna hitam menatapku tajam dan benci. “Aku memang seorang striptease Tuan, tapi bukan berarti aku mau ditiduri oleh pria brengsek seperti kalian!” gadis itu berdiri dan berjalan menuju pintu dengan kunci yang masih menggantung, aku meraih bahunya tapi ia mengentakkan bahunya dengan kasar. “JANGAN MENYENTUHKU BRENGSEK!” Raungnya keras. “A..Aku minta maaf, aku tidak berpikiran begitu padamu Nona, sungguh. Biar kuantar kau pulang, ne?” ia tersenyum merendahkan padaku. “Tidak perlu bersikap manis padaku! Akutidak butuh bantuanmu,” desisnya sebelum akhirnya ia menyentakkan kunci dua kali dan pergi dari dalam kamar. “Aaarrgghh!!” teriakku frustrasi, kepalu rasanya semakin pusing dan berdenyut-denyut kencang. Aku ketempat seperti ini untuk meredakan pikiranku yang sedang kacau, tapi kenapa kesini justru membuatku semakin stres?! Aku hanya bisa merutuki kebodohanku. Aku mengambil ponsel yang berada di saku mantelku, menguhubungi nomer seseorang yang sangat aku percayai, “Ambilkan uangku! Sepuluh juta won!” belum sempat yang di seberang menjawab perintahku aku sudah menutup telefon tersebut, kemudian membanting ponsel tersebut sampai remuk. Gadis itu mengusik pikiranku, dia gadis baik-baik, aku yakin itu.

[Author’s POV]
            Jihyun terus lari secepat ia bisa, kakiknya sudah terasa sakit gara-gara lari terus-menerus. Dia sudah beberapa kali tersungkur di aspal yang lembab karena air hujan, membuat kedua lututnya harus berdarah. Nafasnya memburu ketakutan, matanya jelalatan mencari sosok-sosok laki-laki yang tengah mengejarnya tersebut. “HOI!!!” Kepalanya menoleh kebelakang dengan kaki yang terus mengayun berlari, ia tidak mungkin melepaskan selimut satin yang membungkus tubuhnya tersebut, tapi hal itu menyulitkan larinya. “BRENGSEK! KEMBALI KAU JALANG!!” Teriak mereka ber-2 semakin geram, mereka berlari kira-kira 50 meter di belakang Jihyun.
            “SHIREO!! SHIREO! AKU TIDAK MAU!! LEPASKAN!! AAAAA!!!”
PLAK PLAK PLAAK
Jihyun tidak menangis saat mereka tampar, ia sudah terbiasa dengan tamparan. Itu semua baginya merupakan makanan sehari-hari gadis berusia 19 tahun tersebut. Jihyun memberontak dari kursi, tapi tubuhnya diikat dengan kuat oleh mereka ber-2. Bosnya duduk dengan congkak di atas meja kantornya sambil menatap Jihyun sengit, tamunya –Sehun, yang tadi memesan Jihyun keluar dari kamar dengan muka kusut hanya 10 menit setelah mereka berdua masuk kesana, bosnya dengan mudah bisa mengartikan hal tersebut; Jihyun kabur. Tentu pikiran tersebut benar, sudah sejak lama Jihyun ingin kabur dari tempat laknat ini, tapi dia selalu tidak berhasil, dan selalu berakhir dengan siksaan semalam penuh pada tubuhnya dengan hasil memar-memar yang menyakitkan. “Kau benar-benar tidak tahu diuntung ya? DASAR PELACUR!” Teriak bosnya sambil melempar gelasnya yang berisi vodka hingga membentur bahu Jihyun yang terbuka, gelas tersebut berderak membuat bahu gadis itu nyeri. “KAU BISA MENGHILANGKAN UANGKU TOLOL!” Pria berumur tersebut meloncat dari kursi kemudian menghantamkan kepalan tangannya ke muka Jihyun.
BUUUGGHH
“APA MAUMU HA?!”
BUUGGHH..
“DASAR PELACUR!!”
BUUGGHHH....
Selesai menempeleng muka Jihyun hingga berdarah-darah, bos tersebut menenggak vodkanya langsung dari botol. Kali ini, Jihyun tidak mampu untuk membendung air matanya lagi, dia tidak hanya kesakit an secara fisik, Jihyun juga kesakitan secara psikis. Di saat gadis-gadis sebayanya sedang bersenang-senang masuk kuliah, ia harus berhenti sampai SMA, saat gadis-gadis sebayanya sedang berbunga-bunga memiliki kekasih, ia justru harus menjadi penari hina, di saat orang lain masih memiliki keluarga dan menyayangi mereka, gadis malang ini justru dijual oleh orang tuanya! “Apa itu yang selalu kau lakukan?” tanya bos tersebut dingin, Jihyun menunduk tak mau mendongak, tiba-tiba tangan seseorang menjambak rambutnya dengan kasar sehingga membuatnya mendongak terpaksa, “AAA AAA...Appoo aaaa..hiks lepass..appoo hh..hiks” Jihyun menutup matanya merasakan sakitnya, “JAWAB!!”
PLAAAKK
Sekali lagi, tangan bosnya tersebut melayang pada sudut bibir Jihyun yang sudah pecah karena dihajar olehnya. Nafasnya memburu saking sengitnya, ia tidak bisa bersabar lagi kalau sudah berurusan dengan uang. Tidak peduli Jihyun sampai berdarah-darah seperti ini. Jihyun mengepalkan tangannya yang diikat dibelakang sandaran kursi saat merasakan jambakan di rambutnya yang makin kusut semakin kencang, ‘Bunuh aku! Bunuh aku! Bunuh aku! BUNUH AKU!!!!’ jerit Jihyun dalam hati. Ia tidak tahan dengan semua ini!!
BRAAK
Tiba-tiba pintu kayu di belakang Jihyun terbuka dengan sangat kasar, mata bos Jihyun melotot melihat siapa yang datang. Sehun. Ia datang membawa sebuah koper  di tangan. 2 centeng bos Sehun merangsek maju saat Sehun menatap mereka dengan kilat yang dingin, matanya yang tajam menatap bos tersebut. “Ti..ti..tidak tidak! Biarkan Tu..Tuan Oh masuk!” ucap bos tersebut sedikit gugup, tangannya menyingkirkan botol-botol vodka di atas mejanya. Sehun mengentakkan badan 2 bodyguard tersebut, ia menatap Jihyun yang tertunduk terikat di atas kursi kayu di tengah ruangan kecil tersebut. Ia tersentak melihat darah menetas ke pangkuan gadis itu, setengah detik kemudian ia menatap bos Jihyun yang sudah duduk di belakang mejanya. “Apa yang kau lakukan padanya ha?!” bos bertubuh gemuk itu sedikit beringsut saat melihat ‘Tamu Terhormatnya’ – Sehun adalah orang kelima yang berani menyewa Jihyun ke dalam kamar, itu menandakan kalau Sehun mempunyai uang banyak- mengamuk dan menggebrak mejanya. “Eee.. ee ti..tidak, saya..saya hanya...memberinya sedikit pelajaran saja he he,” ucapnya kikuk sambil menatap takut-takut Sehun yang berdiri menjulang di depannya. Sehun mentap pria itu dengan penuh kebencian, ia melempar koper hitamnya keatas meja tersebut, pria gemuk itu menatap Sehun bingung namun dengan sumringah. “Aku akan membeli gadis itu,” tukas Sehun dingin dan to the point. Bos tersebut tertawa keras mendengar ucapan pria muda di hadapannya tersebut, “Apa? Membeli dia? Tuan Oh, jangan bercanda” Sehun mengertakkan giginya semakin geram melihat bos tersebut berpura-pura, ia meraih kudua ujung kunci koper tersebut dan langsung menyentakkan bagian atasnya. Uang. Bos tersebut melongo tak percaya. “Sepuluh juta won,” mendengar itu Jihyun melirik pria bermantel denim tersebut. Ia tak percaya, “Kurang?” lanjut Sehun menantang, ia mengeluarkan dompet hitamnya dari dalam saku celana, mengorek isinya dengan cepat dan mengeluarkan tumpuk uang. “Tiga belas juta won,” ucapnya lagi. Jihyun menatap punggung pria tersebut dengan nanar, matanya terasa perih. Dia memang ingin kabur dari tempat ini, tapi bukan untuk dibeli seperti ini, bukankah kalau dengan dibeli seperti ini ia justru akan menjadi budak orang yang membelinya? Kenapa hidup tak adil?! Tangan bos tersebut meraba-raba permukaan uang dalam koper tersebut, meraih beberapa tumpuk untuk memastikan bahwa uang itu asli. Dan memang uang itu asli semua, ia menatap Sehun dengan muka topengnya, “Ah...Tuan Oh, aku dulu membeli gadis itu sangat mahal...” Sehun menggeram semakin ‘panas’ pada orang di depannya ini, ia membuka sebagian kancing mantel denimnya, kemudian merogoh saku jas bagian dalamnya, mengeluarkan sebuah buku persegi panjang, Check Book. “Tulis berapa yang kau mau!” geram Sehun dengan rahang terkatup rapat menahan amarah. Jihyun menatap darahnya yang mengalir di sela-sela pahanya yang terkatup, ia memikirkan apa yang akan terjadi setelah ia dibawa pulang oleh pria yang ia tahu bernama Oh tersebut. Apa akan semakin menderitakah hidupnya? Pikirannya memberat, semakin lama pandangannya mengabur, pendengarannya menipis, sebelum kesadarannya sepenuhnya menghilang Jihyun sempat merasakan ikatan di tubuhnya dilepas dan sepasang lengan yang hangat mendekapnya. ‘Semuanya...sudah berakhir,’ desah Jihyun dalam hati, kemudian ia merasakan tubuhnya menjadi sangat ringan. Tubuhnya terbang dan membentur-bentur permukaan awan perak yang sangat lembut, ia menyukai sensasinya saat menyentuh permukaan awan tersebut. Di tempat itu sangat menyenangkan, semuanya terasa sangat mudah dan sangat ringan, tidak ada pukulan, makian, hinaan, dan Jihyun sangat bahagia berada di tempat itu. Segalanya penuh warna dan halus sekali permukaannya, ia menyentuh segala sesuatu yang ada di tempat itu, batu hitam yang berdiri kokoh dengan air segar yang mengalir, pohon-pohon kayu yang sangat besar, dan tungku perapian yang sangat hangat dengan cerobong asap yang entah kemana membawa asap perapian itu pergi padahal di atas semua yang ada di tempat menyenangkan itu adalah langit biru cerah yang membentang luas dengan garis-garis tipis dari awan. Jihyun hanyut dalam ‘dunia’ baru tersebut, dunia yang penuh kedamaian dan menjanjikan ketenangan. Matanya yang bulat hitam memandang langit luas, sedangkan tubuhnya yang seringan bulu mengayunkan sebuah ayunan kayu di tepi danau yang penuh teratai. Jihyun tertawa senang saat melihat kupu-kupu dengan sayap transparan –yang walau aneh tetap mengagumkan untuk Jihyun- terbang mendekatinya, tetapi saat ia tertawa pelan, wajahnya tiba-tiba merasakan nyeri yang luar biasa. Jihyun memandangi wajahnya pada permukaan air danau yang diam dengan ekspresi tak suka, ia tak suka merasakan sakit, ia benci rasa itu. Saat ia merasakan sakit, ia seolah terkekang, Jihyun ingin bebas! Sebebas kupu-kupu aneh tadi. Tiba-tiba Jihyun mendengar suara gagang pintu yang terbuka, ia mengernyit bingung. Di ‘dunia’ itu tak ada pintu satupun, tapi kenapa Jihyun bisa mendengar suara gagang pintu terbuka? Kenapa ‘dunia’nya menjadi aneh seperti ini? Ada apa?.
           “Eo...dia belum bangun Tuan Muda,” ucap seorang pria paruh baya dengan pakaian jas hitam yang sangat rapih. Orang yang dipanggil Tuan Muda itu hanya terdiam memandangi wajah teduh seorang gadis cantik yang penuh memar sambil mengusap pelan surai rambut coklatnya yang tergerai di atas bantal. “Tuan Kim,” ucap Sehun pada butler kepercayaannya tersebut. “Ya Tuan Muda?” jawabnya pelan. “Telfonlah menejer Park! Aku ingin cuti selama seminggu ini,” ucap Sehun tanpa mau mengalihkan pandangannya dari wajah gadis yang masih tertidur pulas tersebut. “Baiklah Tuan Muda,” jawab butler Kim Dongjin dengan patuhnya. Ia membungkuk meminta ijin dahulu sebelum akhirnya dia berjalan tanpa suara ke pintu kamar, menutup pintu berengsel mahal tersebut dengan bunyi yang sangat halus. Sepeninggal butler-nya tersebut, Sehun menghela nafas panjang, ia beranjak dari ranjang king size di kamar tersebut, lalu menyibakkan tirai tebal merah marun yang membungkus tirai gold di baliknya. Sehun berdiri memandangi kolam renang di bawah kamar tersebut, sinar matahari yang menerobos masuk ke kamar tersebut memantul di karpet tebal yang membentang seluas kamar mewah tersebut. Pria berambut coklat madu tersebut berbalik menuju ranjang dimana ada gadis yang semalam ia khawatirkan, ia tidur dengan sangat pulas. Sehun tersenyum melihat wajah lelah tersebut, pikirannya melayang pada kejadian semalam. Ia sedikit geram mengingat betapa banyaknya jumlah uang yang diminta oleh bos gadis ini, ₩50.000.000 (dalam rupiah kira-kira 400.000.000 rupiah). Itu memang tidak terlalu berarti bagi Sehun yang konglomerat, tetapi 50 juta won diberikan hanya untuk orang brengsek seperti dia! Setidaknya, dia benar-benar mendapatkan gadis ini. Dia ingin membebaskan gadis jelita itu dari kungkungan bayangan yang sangat menjijikan. Sehun...sudah jatuh cinta padanya.

[Jihyun’s POV]
            Rasanya, sejak tadi ada yang mengusap-usap kepalaku terus menerus. Usapannya memang sangat lembut, tapi usapannya seolah menyeretku menjauh dari ‘dunia’ baruku yang sangat indah itu. Aku ingin berontak tapi tubuhku tidak bisa bergerak. Rasanya sakit sekali, wajahku terasa sangat sakit, bahuku nyeri, dan kedua lutut kakiku kebas. “Nngh..” seolah seluruh kesadaranku mengumpul di setiap persendianku, aku melenguh tertahan –karena sensasi sakit di sekujur tubuh. Tangan yang tadi mengusap-usapku menghilang, tubuhku terasa sangat hangat rasanya karena ada sinar matahari yang mengenaiku. Aku menggeliat pelan dan mencoba membuka mata walau masih sangat mengantuk, rasa nyeri menyergapku. “Aw..” desisku pelan saat lututku bergesekan dengan selimut tebal yang membungkusku. “Tidak perlu bergerak-gerak begitu!” ucap sebuah suara, suara yang tak begitu familier –walaupun sepertinya aku pernah mendengarnya- namun suara itu sangat lembut, bagai beledu. Aku mencoba mengerjap-erjapkan mataku yang berat, dua detik kemudian aku mampu melihat seorang pria berpakaian kaos hitam lengan panjang yang ditarik mendekati siku. Aku terkesiap kaget saat mengingat pria itu, dia yang mencoba memperkosaku malam lalu. “Kau,” ucapku pelan bahkan lebih cocok sebagai bisikan –sudut bibirku terlalu sakit untuk bergerak mengatakan sesuatu dengan tajam dan ketus- saking pelannya aku sampai khawatir kalau orang di depanku ini tidak bisa mendengarnya. Ia hanya tersenyum membaca gerak bibirku, “Tidurmu pulas sekali,” ujarnya menatap jam tangan hitam yang melilit pergelangan tangan kanannya. Seketika merasa tersadar aku berada satu ruangan dengan pri yang sudah membeliku ini, rasa takut perlahan merayapiku. Aku akan menjadi budaknya. Budak apa? Akupun juga tidak tahu, yang paling parah harus menjadi budak sex-nya. Tidak! Aku langsung bergerak bangun dengan cepat, menyebabkan ranjang dari besi tempa ini berguncang. Pria berambut hampir mirip denganku itu menatapku dengan pandangan heran, aku tidak peduli. Kakiku terasa sakit saat melakukan gerakan spontan tersebut, padahal seharusnya gerak kaki dipengaruhi otot sadar. ”Menjauh dariku!” ucapku mulai dingin, ia justru mengernyit padaku. “Tidak apa-apa, kau ada di rumahku,” ucapnya, sebelah tangannya terulur hendak meraih lenganku, sontak bermodal keberanian aku menepisnya dengan keras. “JANGAN PERNAH MENYENTUHKU LAGI!!” Aku tidak perduli lagi pada rasa sakit yang merojok-rojok wajahku ketika aku berteriak kencang di depan mukanya. Nafasku menderu karena amarah, mataku jelalatan meraih selimut beludru di pahaku, tapi gerakanku terhenti saat melihat ada yang aneh pada tubuhku. Lenganku tertutup sesuatu yang kepanjangan. Aku menatap tubuh bagian atasku, sudah berpakaian kemeja putih kebesaran. Mataku langsung melotot menatap laki-laki ‘kurang ajar’ di depanku ini. Ia menautkan kedua alisnya menatapku bingung, tapi sedetik kemudian justru terkekeh pelan dengan mata menyipit menatapku. Aku jengkel melihatnya. “KEMBALIKAN BAJUKU!!” pria ini justru semakin mengeraskan kekehannya, aku meraih bantal di balik tubuhku kemudian melemparkannya pada orang menyebalkan tersebut. “Kau...meminta bajumu?” tanyanya masih dengan tertawa, aku tersadar. Aku tidak memiliki ‘baju’ saat dibeli olehnya. Aku menggigit bibir bawahku perlahan sambil menunduk meremas kemeja yang pastinya milik pria muda tersebut. Sekarang aku baru merasakan efek nyeri di seluruh wajahku setelah berteriak kencang-kencang pada orang di depanku. Tawanya terhenti seperempat menit kemudian, walau masih terkadang terkekeh. “Tenanglah! Pelayan di rumah ini yang mengganti bajumu, aku belum punya baju perempuan, jadinya...aku meminta pelayan untuk memakaikanmu kemeja milikku,” ucap pria itu dengan lembut. Aku mendongak kecil menatapnya tapi kemudian mengalihkan pandanganku ke selimut. Aku bisa merasakan matanya yang sangat teduh menatapku dalam diam, suasana menjadi hening, entah mengapa aku menjadi merasa canggung pada pria yang aku akui memang tampan. Tiba-tiba, sesuatu yang sangat membuatku malu dan sangat aku rutuki memecah tawanya lagi. Perutku sudah berteriak meminta haknya.

[Author’s POV]
            Sehun meninggalkan Jihyun di dalam kamar sendirian, ia turun ke lantai dasar mengambil makanan untuk gadis itu. Dan selama Sehun pergi, Jihyun mendumel tak jelas memaki perutnya yang memang belum ia isi sejak kemarin siang, jadi ya pantas saja pencernaannya tersebut sudah berontak tak karuan, membuat tuannya malu. ‘Merusak suasana saja’ dengus Jihyu n dalam hati. Sekarang dia merasa harus ke kamar mandi, akhirnya ia bangun dari ranjang. “Kamarnya besar sekali,” gumam Jihyun sambil menatap sekeliling kamar. Ia takjub pada kamar berdominasi warna marun dan gold tersebut, terkesan sangat glamour dan berkelas tinggi. Kamar tersebut jauh berbeda dengan kamar asramanya di bar malam yang mulai sekarang tak akan lagi ia datangi, kamarnya yang dulu hanya seukuran 8x8 meter saja, dengan sebuah ranjang kecil, dispenser, heater dan AC yang sudah bermasalah, lemari kecil, dan sebuah kamar mandi. Tidak ada televisi, almari kaca, sofa, komputer, jendela lebar, meja rias, dan tetek bengek lainnya yang sekarang ia lihat ada di dalam kamar yang luasnya mungkin 3 kali lipat dari kamar lusuhnya dulu. Mata bulat Jihyun menyapu atap plafon kamar tersebut, dengan warna gold yang lembut, kamar tersebut dipasangi beberapa lampu , dindingnya berpanel kayu dengan serat-serat halus dan menyenangkan saat kalian sentuh. ‘Jadi dia sangat kaya raya,’ hela Jihyun dalam hati, gadis itu memang sudah menyangka pria yang membelinya pastilah orang yang sangat kaya raya, pasalnya, mantan bosnya yang keparat itu pernah mengatakan bahwa ia adalah striptease yang termahal. Tapi, semalam saat kesadarannya berada di ambang batas Jihyun tak lagi mampu menangkap percakapan mereka tentang harga dirinya. Ia sendiri tak habis pikir untuk apa pria kaya dan tampan seperti dia mau untuk membelinya yang notaben ia berpikir bahwa ia adalah wanita yang sudah ‘kotor’. “Haaahh..membuatku pusing saja,” keluhnya lantas ia berjalan menuju sebuah pintu di sudut ruangan tersebut dengan tulisan “Bathroom”  . Pelan Jihyun mendorong pintu tersebut, ‘Pasti engselnya sangat mahal’ decaknya dalam hati, terbesit rasa kagum pada pemilik rumah ini, karena ternyata seluruh ichi rumah ini terbuat dari sesuatu yang mahal. Begitu ia sempurna masuk ke dalam kamar mandi, Jihyun langsung terpana takjub pada isi kamar mandi tersebut, dengan lantai marmer berwarna coklat pastel, dinding serupa yang terlihat lembut di mata, 2 lampu kristal cantik menggantung di tengah-tengah kamar mandi tersebut. Jihyun melangkah dengan pandangan takjub pada super istimewa tersebut, gadis itu sedikit tak percaya melihat seluruh isi ruangan yang sebenarnya hanya untuk mandi dan buang air saja tersebut. Kamar mandi dengan konsep yang hampir sama dengan kamarnya tersebut memiliki fasilitas layaknya kamar hotel! Ada sebuah kursi dengan satu buah meja di tengah kamar mandi yang di alasi karpet beludru abu-abu, di sudut ia melihat bath up dengan tirai pastel, dua buah konter cermin dengan keran wastafel berbentuk angsa emas. ‘Unik’ pikirnya saat ia menatap sekeliling. Jihyun akhirnya memutuskan untuk mandi, badannya terasa sangat lengket. Ia melepas kemeja pria tadi dan meletakkannya di kursi lantas berjalan menuju bath up disana dan kemudian menutup tirainya sambil mengisi air di bak berendam tersebut.

            Sehun sudah memanggil-manggil Jihyun tadi, tapi kemudian ia hanya duduk dan meletakkan meja kecil dengan nampan berisi sarapan, segelas susu, dan satu buah apel merah di atas kasur yang tadi ditiduri Jihyun. Pria tampan itu menunggu dengan sabar saat menyadari jika gadis itu tengah mandi. Ia tersenyum-senyum sejak 10 menit lalu ketika mengingat wajah gadis itu, Sehun menekan dada sebelah kirinya. Ia tahu jantungnya berdentam semakin kencang saat ia berdekatan dengan gadis yang belum ia ketahui asal-usulnya tersebut, dadanya terasa ngilu seolah orientasi kehidupannya tersebut menggesek-gesek rusuknya dengan sangat kuat –seperti putaran baling-baling helikopter. Sehun menoleh cepat saat mendengar pintu kamar mandi terbuka, matanya langsung melihat sesuatu yang membuatnya mampu ‘mabuk’ lagi. Jihyun dengan santainya tetap mengenakan kemeja Sehun yang kedodoran mencapai setengah pahanya, dengan handuk putih yang tengah ia gosokkan pada rambutnya yang basah. Gadis itu kaget melihat pria tersebut sudah di kamar dan sedang menatapnya yang sekarang tengah semi telanjang –ia tak mengenakan pakaian dalam. “K...Kau...su...sudah di sin..ni?!” tanya Jihyun terbata, ia gugup. Satu hal yang Jihyun tak mengerti saat mereka saling menatap, ia merasakan aliran yang kebih kuat menyusupi relung hatinya, gadis itu tak tahu artinya namun ia menyukai sensasi aliran tersebut. Seolah ia terseret makin jauh dalam pusaran yang membuatnya betah menatap pria itu. “Aku sudah membawakan sarapanmu,” jawab Sehun dengan senyum yang hangat, mata gadis itu mengikuti gerak tangan Sehun yang melambai ke ranjang, dan ia menemukan makanan di sana. Jihyun hanya mengangguk menanggapinya. Luar biasa! Betapa besarnya efek yang diberikan Jihyun kepada Sehun, pria itu semakin tidak bisa menahan perasaannya lagi. Ia tahu bahwa Jihyun tidak tahu apa yang ia rasakan, namun sebaliknya juga begitu, Sehun tak tahu apa yang Jihyun ketahui tentang perasaannya.

            Jihyun meletakkan sendoknya ketika telinganya mendengar pintu kamarnya terbuka, mulutnya mengunyah pelan daging ayam yang baru saja masuk. Lagi-lagi –dan akan terus lagi-lagi, Sehun yang masuk ke kamar tersebut, ia mendapati gadis cantik dengan rambut yang masih lembab sedang duduk bersila berselimutkan handuk sambil memakan sarapannya. “Aku baru membelikanmu beberapa baju, aku tidak tahu persisi berapa ukuran tubuhmu, jadi aku hanya mengira-ngira saja,” Jihyun menerima sebuah kantung tas kertas berukuran cukup besar dengan brand nama pakaian yang terkenal di Korea, ia membukanya dan melihat isinya sebentar, dan ia menemukan ada beberapa pasang bra dan celana dalam di kantung tersebut, kemudian ia membalas tatapan Sehun yang masih berdiri di tepi ranjang. “Umm...gomawo,” ucapnya pelan dengan senyum tipis diujung bibirnya yang pecah, Sehun tersenyum membalas senyuman kecil gadis itu. “Habiskan makananmu!” ujar Sehun kemudian menarik laci nakas lampu di sebelah headboard ranjang. Ia mengeluarkan beberapa strip obat dan satu tube kecil berwarna puting kekuningan, Jihyun mengernyit tapi beberapa detik kemudian ia memilih melanjutkan sarapannya.
            Jihyun menatap leher putih Sehun yang berada tepat berada di depan matanya, kedua tangannya mencengkram rok tebal yang membungkus pahanya yang sejak tadi terekspos. Jari telunjuk kanan Sehun dengan lembut mengoleskan gel pengurang memar di bekas luka-luka yang membengkak di wajahnya. “Bengkaknya hampir menghilang,” ucap Sehun tiba-tiba membuat Jihyun mendongak hingga menyebabkan jari Sehun sedikit mencoret ujung hidungnya, Sehun terkekeh tanpa suara kemudian mengelap krim bening di hidung gadis tersebut. Jihyun menatap mata coklat Sehun yang sangat hangat –warna coklat susu yang sangat mengagumkan. Pria itu membalas tatapan Jihyun dengan senang hati, ia tersenyum saat dengan perlahan ia menarik lengan Jihyun semakin mendekat. Jihyun tidak tahu kenapa ia mau menurut saat dengan perlahan ia ditarik ke dalam pelukan orang ini, pokoknya ada sesuatu yang belum pernah gadis itu rasakan selama eksistensinya di dunia ini. Sehun dengan penuh perasaan mengelus rambut Jihyun yang mulai mengering, ia meletakkan pipinya di puncak kepala gadis tersebut, ia memejamkan kedua matanya meresapi sebuah dorongan besar dalam hatinya sejak malam kemarin. ‘Berhentilah dan tinggallah bersamaku!’ desah Sehun dalam hati. Jihyun menutup kedua matanya mendengarkan debaran jantung Sehun yang tak normal, jantungnya seolah berdetak 2 kali lebih cepat dan lebih keras ketimbang jantung manusia dalam keadaan normal, Jihyun tersenyum saat ia juga merasakan jantungnya ikut berdentam menggempur dadanya dengan tak sabaran, rasanya sampai sakit. Ia hanya menyukai saat ada tangan-tangan yang lembut mencoba membuatnya nyaman, ia rindu tangan-tangan seperti sekarang ini; Jihyun rindu kedua orang tuanya yang sekarang entah ada dimana.

[Jihyun’s POV]
            Lengan pria ini mendekap kepalaku dengan sangat hat-hati, seperti kepalaku terbuat dari kaca yang rapuh saja. Namun, aku menyukainya, aku selalu tersiksa dengan tangan-tangan yang selalu berbuat kasar padaku. Entah mengapa aku bisa begitu saja menghilangkan rasa benciku pada pria bernama Oh ini, padahal baru kemarin malam ia hampir memperkosaku. Ada perasaan bahagia menjalar seperti udara stagnan yang terhenti di paru-paruku yang sepertinya macet untuk menyuplai oksigen. Dengan –sedikit ragu-ragu- perlahan aku mengulurkan tanganku yang tadinya mencengkaram rok baruku menuju ujung kaos yang tuan baruku kenakan. Bisa kurasakan tubuhnya semakin condong untuk memelukku, aku merasa nyaman saat ini. Aku menghirup wangi tubuhnya yang sangat enak, aromanya sangat menenangkan, seperti bau-bauan apel yang lembut dan bau-bauan yang segar dengan sedikit aroma pedas. Aku tidak bisa menjabarkan betapa enaknya bau parfum yang orang ini kenakan, aku hanya mampu menggantikan selusin nama enak yang aku tidak ketahui namanya; frescia, coklat, air, roti panas... dan entah. Sadarlah aku bahwa aku mulai mempunyai perasaan pada pria ini, mulanya aku hanya berpikir kalau ia bersikap manis pada awalnya namun pada hari-hari selanjutnya setelah aku benar-benar sembuh dari luka bengkak ini, ia akan mulai menyiksaku, menjadikanku seutuhnya sebagai budaknya karena ia yang telah membeliku. Aku berdigik memikirkan hal tersebut. Kusangka memang aku jatuh cinta, entahlah. Tapi, ini semuanya sudah berakhir. Semuanya selesai. ‘Ini hanya topeng Goo Jihyun!’ Dia akan menjadikanku budak! ‘Jangan pernah bermimpi bahwa majikanmu akan mencintaimu Goo Jihyun! Kau hanya seorang gadis dan kau adalah seorang striptease!’. Batinku berkecamuk, lalu kemudian aku menarik pelukannya dengan perlahan. Pria itu menatapku dan kami tetap terdiam, “Maaf,” ucapku sepelan bisikan. “Ada apa?” tanyanya mengangkat wajahku tetap dengan kehati-hatian, hatiku mencelos saat menatap matanya dan mengingat bahwa dia tuanku, bukan kekasihku. Aku menggeleng lambat-lambat kemudian menunduk. Tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, ia mengecup dahiku yang tertutup poni. “Tenanglah!” bisiknya menenangkan, ya benar. Aku memang harus tenang, aku tidak boleh seperti ini, aku memang selalu ingin mati! Mungkin dengan menjadi budaknya yang akan selalu disiksa nantinya, aku akan menemui ajalku lebih cepat dari yang pernah kubayangkan.

            Kami –aku dan tuanku- berjalan bersisihan di taman belakang rumahnya yang sangat luas, tempat ini cantik sekali! Ada banyak jenis tanaman yang tak aku ketahui namanya. Jalanannya sebagian besar dari semen, namun di pinggir pintu masuk menggunakan lantai tatami. Ini musim gugur, sehingga menyebabkan pohon-pohon maple dan oak di taman tersebut menguning dan mulai berguguran. Aku berjalansedikit di belakangnya. Kenapa? Aku budaknya bukan? “Nona,” tegur pria itu menghentikan langkahnya di tepi kolam ikan. “Ne?” jawabku. “Siapa namamu?” tanyanya melanjutkan langkahnya, akupun mengikutinya. “Goo...Jihyun” jawabku sambil mengikuti langkahnya yang pelan-pelan, aku bisa melihat ia tersenyum. “Goo Jihyun” ulangnya sambil menggumam. Samar-samar aku mendengar suara cicitan beberapa ekor burung di samping lampu taman, sedikit berlari aku mendekati kandang burung tersebut.2 ekor burung dengan bulu yang sangat cantik itu mencicit semakin keras saat kami dekati. Aku tidak tahu mengapa, tapi saat aku melihat burung-burung tersebut aku melihat diriku sendiri berada di posisi mereka. Mereka terkekang! “Cantik sekali mereka” Sehun tertawa pelan mendengarnya, mungkin ia menganggapku aneh, 2 burung tersebut sebenarnya burung dari Korea hanya saja, aku sangat menyukai burung itu. “Narcissus Flycatcher,” ucap Sehun dan aku hanya mengangguk paham. “Kenapa...kau memeliharanya?” tanyaku ingin tahu, jariku mencengkram besi kandang tersebut. Ia menatapku lama sekali dan belum juga menjawab, “Aku menyukainya,” jawabnya dengan nada yang aneh, aku menatapnya. Ia melanjutkan perkataannya, “Aku memelihara sesuatu karena aku menyukainya,” dengan kelu kulurskan jari-jari yang mencengkram besi kandang burung cantik tersebut, entah pikiran darimana, perkataannya seolah ditujukan padaku. Aku meneguk liurku dengan kaku. “Umm...tapi...tidak seharusnya. Tidak seharusnya kau...mengurung mengurung mereka...seperti ini...” ia menatap 2 burung yang sepertinya meloncat-loncat menyetujui ucapanku barusan. Pikiran itu nyaris membuatku tersenyum, bebas. Lima huruf itu mewakili banyak gairah, bebas hidup, bebas melakukan, bebas segala-galanya. “Hm...” hanya itu yang keluar sebagai jawaban pria ini, aku menatapnya bingung tapi dia masih memandangi burung piaraannya tersebut.  Hanya satu detik berlalu kemudian ia menoleh memandangiku. “Kenapa kau mengatakannya?” bisiknya, aku mengerjap mencari ekspresi yang pas untuk kondisiku sekarang, aku juga bingung kenapa mengatakan saran tadi. Akhirnya... “Aku...seperti mereka,” dan hening lagi. Aku ingin menjerit, tapi tidak sanggup. “Dikurung itu sangat menyiksa, aku bisa tahu karena aku pernah merasakannya.” Ia tetap terdiam memandangiku, kuberanikan bercerita. “Walaupun mereka hanya burung, tapi mereka makhluk hidup. Aku tahu betapa tersiksanya harus terkekang seperti mereka, mereka ingin bebas Tuan! Mereka ingin seperti burung-burung yang lainnya, mereka ingin mencari kebahagiaan mereka sendiri. Biarkan...biarkan...mereka bebas...kumohon! Tuan...” Pria di sampingku tetap terdiam walau aku sudah mengatakan sesuatu yang langsung terpikir untuk aku ungkapkan. Aku menggambarkan burung tersebut adalah diriku sendiri yang menginginkan kebahagiaan. Kini rasanya bagai lelucon saja saat Tuan muda ini tertawa pelan. “Jihyun,” ucapnya lambat-lambat, tangannya terulur untuk membuka kancing sangkar besi kotak tersebut. Burung-burung tersebut menggelepar saat tangan pria ini mencoba menangkapnya. Geleparan mereka sama seperti rontaanku pada saat ada pria yang mencoba meniduriku, seluruh eksistensiku tidak bisa mengalahkan beratnya siksaan macam itu. Ia memberikan padaku seekor burung yang tubuhnya lebih besar ketimbang yang dipegang olehnya, pikirku burung ditanganku adalah pejantan. Angin musim gugur berdesir, “Terbangkan!” perintahnya dengan suara tersenyum. “Mwo?” tanyaku tak percaya, tapi ia menatapku dengan senyuman yang sangat aku sukai itu. Anggukan meyakinkan darinya membuatku akhirnya melonggarkan genggamanku pada tubuh Narcissus tersebut. Secepat angin menghembus, secepat itu pulalah burung berbulu kuning tersebut mengepakkan kedua sayapnya lebar-lebar kemudian terbang setinggi-tingginya. Tapi, tidak dengan pria di sampingku, burungnya masih di genggamannya membuat kepala burung itu bergerak-gerak gelisah –tak sabar ingin lepas dari kungkungannya. Ia tersenyum lembut padaku sebelum akhirnya ia bicara. “Jihyun,” aku mendengarkan dengan seksama ucapannya yang selembut beledu itu. Dadaku bergemuruh mendengarkan suaranya yang bagai genta angin, ada secercah perasan gembira di setiap huruf yang dia lafalkan. Aku mengerjap. Dan kemudian –Oh! “Biarkan aku membebaskanmu.” Jantungku meloncat, berpacu bagai akan meledak. Pria itu langsung memelukku dengan sangat lembut satu detik setelah dia benar-benar melepaskan si burung betina. “Berhenti dan tinggallah denganku.” Tanpa bisa aku cegah, air mataku jatuh di bahunya. Benar, aku sangat mencintainya. Tidak! Tidak! Kami... saling mencintai.



TBC

1 komentar: